“FILSAFAT EKSISTENSIALISME DAN FENOMENOLOGI”

PEMBAHASAN

 

2.1 Riwayat Hidup (Edmund Husserl)

Edmund Husserl lahir pada tahun 1859 di sebuah kota kecil bernama Prosznits, Cekoslowakia. Pria yang kerap disapa Husserl berasal dari keluarga yahudi. Dia dibaptis saat berumur 27 tahun di sebuah gereja Kristen Protestan. Awal masuk ke agama Kristen karena terpengaruh oleh sahabatnya yaitu G. Albrecht. Ia menekuni matematika, fisika, astronomi, dan filsafat. Pendidikannya di beberapa universitas, antara lain Universitas Leipzig, Universitas Berlin, dan Universitas  Wina.

Husserl pernah bekerja sebagai asisten seorang ahli matematika bernama Weierstrass. Ia meraih gelar doktor filsafat dengan disertasi yang mengulas filsafat matematika. Pada tahun 1887-1901, ia diangkat sebagai dosen privat, semacam dosen tidak tetap yang hanya mendapatkan gaji jika mengajar kuliah di Universitas Halle. Pada 1901, Hussrel diangkat sebagai profesor di Universitas Gottingen. Disana ia manfaatkan untuk mematangkan pemikiran filsafatnya. Pada 1916, ia diundang untuk menjadi profesor di Universitas Freiburg im Breisgau. Dengan undangan tersebut ia sangat senang dan langsung menerimanya, karena sejak dahulu ia tertarik dengan Jerman Selatan. Setelah itu, ia juga mendapat undangan untuk pindah ke Universitas Berlin yang lebih terpandang, tetapi ia tolak. Di Freiburg, ia memiliki murid yang berasal dari berbagai negara, seprti Perancis, Inggris, Amerika Serikat, dan Jepang.

Husserl sangat mencintai Jerman. Hal ini terbukti dari kasus pencabutan kewarganegaraannya oleh Nazi karena keturunan Yahudi, namun berkat usahanya sendiri, akhirnya kewarganegaraan Jermannya dikembalikan. Bukti lain yang menguatkan kecintaannya pada Jerman adalah direlakannya anaknya untuk menjadi tentara yang membela Jerman pada Perang Dunia I sampai titik darah penghabisan. Anaknyagugur dalam peperangan itu dan mengalami luka berat dalam peperangan yang sama. Selain itu ketika banyak orang Yahudi mengungsi ke luar daerah negeri, ia tidak mau meninggalkan Jerman, walaupun sudah ditawarkan tempat tinggal yang aman di Amerika Serikat.

Ketika usiannya semakin senja, Husserl terserang suatu penyakit. Setelah hampir setahun menderita penyakit itu, ia akhirnya meninggal dunia pada 27  April 1938 dalam usianya 79 tahun.

Karya-Karya yang dihasilkan oleh Edmund Husserl.

Husserl menulis beberapa buku, anatara lain :

  1. Logiscche Untersuchungen (1990-1901) yang terdiri dari dua buku.
  2. Ideen zu einer Phanomenologie and Phanomenologizchen Philosopic (1913).
  3. Meditations Cartesiennes (1931).

 

 

 

2.2 Filsafat Sebagai Ilmu Rigorous

Husserl memiliki obesei besar untuk menjadi filsuf besar dengan membangun gagasan yang juga besar. Hal itu diwujudkan ketika membangun sebuah filsafat sebagai “ilmu” yang sungguh-sungguh sistematis dan ketat “rigorous”. Filsafat merupakan suatu bangunan sistem pengetahuan yang kokoh dan kuat sehingga memberi dasar atau landasan bagi pengetahuan yang datang kemudian. Perlunya filsafat menjadi ilmu rogorous sangatlah urgen. Kita memerlukan ilmu yang mampu menanggulangi krisis ilmu-ilmu di Eropa. Eropa sedang mengalami krisis ilmu pengetahuan. Hal ini tampak pada gejala hilangnya landasan teoritis yang kokoh untuk berpijaknya teori-teori ilmiah (krisis internal ilmu) dan ketidakmampuan ilmu dala menangani akibat-akibat yang ditimbulkan oleh penerapan ilmu dalam praktek kehidupan sehari-hari serta kehidupan sosial-politik-budaya (krisis eksternal ilmu).

Krisis ilmu pengetahuan seperti itu, haruslah segera dicari jalan keluarnya. Dan untuk itu kita memerlukan filsafat. Menanggulangi ilmu pengetahuan di luar wewenang ilmu, karena ia bersifat meta-ilmu. Ilmu tidak bisa bicara tentang dirinya sendiri, ia harus tutup mulut manakah dirinya menjadi bahan perbincangan. Filsafatlah yang harus tampil ke muka. Dalam konteks ini, filsafat mengemban hakikat yang ada di balik pemikiran-pemikiran ilmiah atau teori-teori ilmu. Filsafat yang mengemban tugas tersebut bukanlah filsafat yang masih tradisional atau filsafat masa lalu, melainkan filsafat sebagai ilmu yang rigorous yang tidak lain adalah fenomenologi.

Tugas fenomenologi dalam hubungannya dengan ilmu adalah membimbing para ilmuwan untuk memurnikan dan menjernihkan konsep-konsep dan teori-teori ilmu pengetahuan, sedemikian rupa sehingga konsep-konsep dan teori-teori tersebut bisa menjadi landasan yang kokoh bagi konsep-konsep dan menjadi teori tersebut menjadi landasan yang kokoh bagi konsep-konsep dan teori-teori berikutnya.

Krisis ilmu pengetahuan jenis kedua yaitu krisis eksternal ilmu tampak dari ketidakmampuan ilmu dalam memanfaatkan peluang untuk membuat hidup menjadi lebih bermakna. Dalam konteks ini, Husserl mengecam krisis positivisme. Positivisme dikritik Hussetl karena keenganan dan atau ketidakmampuan ilmu-ilmu positif dalam mempertimbangkan masalah nilai dan makna. Nilai dan makna, kata Husserl, tidak bisa diabaikan oleh ilmu karena keberadannya tidak bisa dilepaskan dari kehidupan. Husserl, Dilthey dan Max Weber sepakat bahwa pengetahuan postitif tidak dapat menjawab persoalan-persoalan tentang kehidupan. Karena terlalu terpaku pada fakta-fakta positif dan kuantitatif. Saat Perang Dunia Pertama, Husserl memperoleh pembenaran untuk kritik tersebut. “Keenganan dan atau ketidakmampuan ilmu-ilmu postif dalam mempertimbangkan masalah ini dan makna hidup” demikian kritik Husserl, “menjadikan para ilmuwan cuci tangan dan tidak peduli pada nilai-nilai kemanusiaan, yang nyaris hancur oleh ganasnya perang”.

Husserl juga mengecam naturalisme dalam ilmu pengetahuan. Naturalisme yang dikritik oleh Husserl adalah “naturalisme” yang berpandangan, bahwa realitas atau dunia sepenuhnya bersifat fisik (natural). Berarti paham ini menolak adanya realitas psikis atau menaturalisasikan realitas psikis menjadi realitas fisis. Kedua aliran dalam psikologi tersebut menganggap psikologi sebagai psikofisika, psikobiologi, psikofisologi. Dalam keduanya tidak tersedia ruang untuk entitas-entitas nonfisik seperti nilai atau pengalaman manusia yang bersifat rohaniah, entitas-entutas tersebut hanya diasumsikan berasal dari aktivitas otak, atau gerak suatu organisme atau dorongan-dorongan naluri.

Melalui suatu perenungan yang panjang dan melelahkan tentang esensi dan aktivitas-aktivitas kesadaran, Husserl berusaha mengkritik pandangan positivisme atau naturalisme tersebut. Tujuan kritik bukan untuk menolak atau menyangkal pentingnya kedua paradigma dalam ilmu pengetahuan tersebut, melainkan untuk mengingatkan bahwa ilmu-ilmu positif dan natural memerlukan pendamping dari sebuah pendekatan filsafat rigorous, yang tidak lain adalah fenomenologi.

Lalu arti dari “rigorous” dalam ilmu filsafat yang dibangun Husserl sulit untuk dicari maknanya dalam Bahasa Indonesia. Sekedar diketahui kutipan yang ditulis Husserl dalam Logical Investigation-nya tentang apa yang dimaksudkan “ilmu yang rigorous” adalah “…..ilmu merupakan suatu sistem pengetahuan yang dihubung-hubungkan oleh rasio dalam suatu cara yang sedemikian rupa, sehingga setiap langkah dibangun di atas para pendahulunya dalam suatu rangkaian yang sangat ketat. Untuk tujuan itu, diperlukan pengertian-pengertian dasar yang sangat jernih dan tata urutan yang sistematis, agar di atasnya bisa dibangun proposisi-proposisi yang lebih lanjut.” Filsafat sebagai ilmu rogorous itulah yang hendak dibangun oleh Husserl di dalam filsafatnya. Ciri rigorous dari ilmu ini lebih dekat pada ilmu-ilmu deduktif, seperti logika dan matematika, ketimbang pada ilmu-ilmu alam induktif menurut model positivisme Comte.

 

 

2.3 Fenomenologi

2.3.1 Kembali Kepada Realitasnya Sendiri (Fenomenologi)

Perjuangan Husserl untuk membangun ilmu rigorous membawanya pada radikalisme filsafat, yakni perjuangan untuk kembali kepada sumber, kepada landasan awal, kepada akar, atau kepada permulaan dari semua jenis dan bentuk pengetahuan atau teori. Husserl terkenal sebagai pendiri aliran fenomenologi, “fenomenologi” sendiri memiliki arti kesadaran akan sesuatu. Maka dari itu, fenomena atau objek harus dimengerti sebagai yang menampakkan diri, bukan yang dibentuk oleh pikiran atau kesadaran. Fenomena yang dipahami Husserl berbeda dengan fenomena yang dipahami Kant. Menurut Kant, yang tampak dihadapan kita adalah fenomena, bukan noumena atau realitas itu sendiri. Jadi, dalam pandangan Kant, realitas tidak menampakkan diri secara langsung, yang menampakkan diri hanyalah fenomena sebagai bentukan kesadaran, sebagaimana yang juga dilakukan Descartes. Karena itu, fenomena laksana tirai yang menutupi noumena. Dan tirai itu sendiri dibuat oleh kesadaran, sehingga noumena tetap berada dalam dirinya sendiri yang tidak dapat disentuh oleh kesadaran. Husserl tidak sepakat dengan Kant. Menurut Husserl fenomena adalah realitas itu sendiri. Tidak ada yang bersembunyi atau tidak ada yang tidak kelihatan. Sesuatu yang tampak sebagai fenomena, itulah realitas. Dalam hali ini, Husserl mempunyai semboyan yang terkenal yaitu “Zuruck zu den Sachen selbst yang artinya kembalilah pada benda-benda itu sendiri. Dari sinilah semakin dipahami akan fungsi kesadaran yang bersifat intensional.

2.3.2 Tentang Fenomenologi

Ketika memakai kata fenomenologi, akan diingatkan kepada pembedaan yang dibawakan oleh Kant antara phenomenon atau penampakan realitas kepada kesadaran, dan noumenon atau wujud dari realitas itu sendiri. Problema untuk mengompromikan realitas dengan pikiran tentang realitas merupakan problema yang sama tuanya dengan filsafat sendiri. Problema itu menjadi lebih sulit karena kita tak dapat mengetahui realitas tanpa hubungan dengan kesadaran kita, dan kita tak dapat mengetahui kesadaran tanpa hubungan dengan realitas.

Seorang filosof itu mengabdikan diri untuk menembus rahasia; filsafat fenomenologis berusaha untuk memecahkan dualisme itu. Ia memulai tugasnya dengan mengatakan: Jika memang ada pemecahan soal, maka pemecahan tersebut berbunyi: hanya feomenologi yang tersajikan kepada kita dan oleh karena itu kita harus melihatnya. Sebagaimana yang pernah ditulis oleh Maurice Merleau-Ponty, ‘fenomenologi adalah daftar kesadaran-kesadaran sebagai tempatnya alam’. Jika kita ingin mengetahui sesuatu benda itu apa, dan persoalan seperti ini adalah tugas para fenomenologis, kita harus menyelidiki kesadaran kita terhadap benda itu. Kalau hal tersebut tidak dapat memberi jawaban, maka tak adalah sesuatu yang dapat memberinya.

Sebagai suatu gerakan filsafat, fenomenologi menjadi Fenomenologi tidak dapat melihat realitas sejernih mungkin atau melihat sampai pada hakikat yang sebenarnya. Fenomenologi merupakan metoda dan filsafat, sebagai metoda ia membentangkan langkah-langkah yang harus diambil sehingga bisa sampai fenomena murni. Untuk sampai pada fenomena murni, harus memulai dengan subjek (manusia) serta kesadarannya dan berusaha untuk kembali pada kesadaran yang murni. Untuk mencapai kesadaran murni, kita harus membebaskan diri dari pengalaman serta gambaran kehidupan sehari-hari, jika hal ini sudah dilakukan akan tersisa gambaran-gambaran yang essensial atau intuisi esensi (intutition of essence). Husserl dalam hal ini mengajukan metode epoche’.  Kata epoche berasal dari bahsa Yunani, yang berarti: “menunda putusan” atau “mengosongkan diri dari keyakinan tertentu.”  Epoche  bisa juga berarti tanda kurung(breaketing)  terhadap setiap keterangan yang diperoleh dari sesuatu fenomena yang tampil, tanpa memberikan putusan benar salahnya terlebih dahulu. Dalam hal ini  Husserl mengatakan, bahwa epoche merupakan thesis of natural standpoints (tesis tentang pendirian yang natural), dalam arti bahwa fenomena yang tampil dalam kesadaran adalah benar-benar natural tanpa dicampuri oleh presupposisi pengamat.

Lebih jauh lagi, fenomenologi berusaha untuk menyajikan filsafat sebagai metoda yang pokok dan otonom, suatu sains akar (root science) yang dapat mengabdi kepada segala pengetahuan. Berlawanan dengan metoda sains obyektif, logika formal dan metoda dialektik yang mengatasi rintangan, metoda fenomenologi mulai dengan orang yang mengetahui dan mengalami, yakni orang yang melakukan persepsi.

Sebagai filsafat, fenomenologi menurut Husserl memberi pengetahuan yang perlu dan esensial tentang apa yang ada. Dalam langkah-langkah penyelidikannya, ia menemukan obyek-obyek (yang tak terbatas banyaknya) yang membentuk dunia yang kita alami. Benda tersebut dapat dilukiskan menurut kesadaran di mana ia ditemukan. Dengan begitu, fenomenologi dijelaskan sebagai kembali kepada benda, sebagai lawan dari ilusi atau susunan fikiran, justru karena benda adalah obyek kesadaran yang langsung dalam bentuknya yang murni.

Metode  merupakan langkah pertama untuk mencapai esensi fenomena dengan menunda putusan lebih dahulu. Langkah kedua, Husserl menyebutnya dengan eidetic vision atau membuat ide (ideation). Eidetic vision ini juga disebut ‘reduksi’, yakni menyaring fenomena untuk sampai ke eideosnya, sampai ke intisarinya atau yang sejatinya (wesen). Hasil dari proses reduksi ini disebut wesenchau, artinya sampai pada hakikatnya.  

Mengajukan sebuah metode fenomenologi, ia menyebutnya dengan istilah reduksi yang dipahami sebagai penyaringan atau dalam bahasa Husserl adalah epache (menaguhkan) dan eingklammert (meletakkan). Reduksi ini diperlukan supaya realitas dapat dilihat dengan semurni-murninya. Reduksi ini disebut Husserl dengan beberapa istilah dan tingkatan, yakni sebagai berikut :

  • Reduksi fenomenologis

Reduksi ini menyaring setiap keputusan naif terhadap objek yang diamati. Keputusan naif yang perlu disaring ini adalah segala keputusan yang bersifat subjektif. Artinya, reduksi ini menekankan objektivitas sebuah pengamatan, yakni terbuka terhadap fenomena yang diamati. Selain itu, yang perlu disaring adalah segala hasil penelitian, baik berupa teori, pengetahuan, hipotesis, konsep, maupun yang lainnya yang pernah ada sebelumnya, terhadap objek yang sama yang sedang diamati secara fenomenologi. Dengan demikian, dalam reduksi fenomenologi ini, subjek harus benar-benar mengosongkan dirinya dari segala hipotesis agar objek dapat menampakkan diri apa adanya.

Penjelasan lebih lanjut kesadaran kini menjadi lapangan penghayatan (Erlebnis atau lived experience). Yang direduksi adalah segenap prasangka kita, misalnya yang berasal dari tradisi, kepercayaan, asumsi, aksioma, teori atau hukum tentang objek yang hendak dicari esensinya itu.  Seluruh prasangka harus disimpan di dalam “tanda kurung” dulu dan kesadaran harus diarahkan pada fenomena yang tampak dalam segala aspek, perpektif dan tahapannya.

  • Reduksi eidetis

Reduksi ini dilakukan setelah objek menampakkan diri apa adanya. Perlu diketahui, objek yang menampakkan diri apa adanya belum tentu menampakkan intinya atau hakikatnya. Oleh karena itu, harus dilakukan reduksi eidetis, yakni menyaring semua yang bukan inti ataupun hakikat objek, sehingga yang tersisa adalah inti atau hakikat (eidos) dari objek itu sendiri. Dari hal inilah fenomenologi menegaskan bahwa dirinya adalah ilmu yang ingin melihat intisari atau hakikat segala sesuatu.

Tujuan sebenarnya dari reduksi adalah untuk mengungkapkan struktur dasar (esensi, “eidos” atau hakikat) dari suatu fenomena (gejala) murni atau yang telah dimurnikan. Kalau fenomenologi hendak menjadi ilmu rigorous, maka ia harus tidak puas dengan apa tang bersifat aksidental atau eksistensial. Fenomenologi harus berkenaan dengan apa yang esensial. Apa yang bersifat aksidental atau eksistensial adalah sesuatu yang selalu berubah, tidak tetap, dan tidak pasti. Kalau filsafat berkenaan dengan sesuatu yang tidak pasti, yang selalu berubah, maka filsafat tidak mungkin bersifat rigorous. Oleh sebab itu, dalam reduksi eidetis, yang harus kita lakukan adalah jangan dulu mempertimbangkan atau mengindahkan apa yang sifatnya aksidental dan eksisdental itu. Caranya adalah melalui reduksi eidetis, yakni menunda dalam tanda kurung, sifat-sifat yang aksidental atau eksistensial dari objek. Perhatian kita sepenuhnya diarahkan hanya pada esensinya, eidos-nya atau hakikatnya.

  • Reduksi transendental

Reduksi yang ingin menjernihkan subjek yang mengamati. Berusaha melenyapkan isi kesadaran yang bersifat empiris semata dan sebagai gantinya, fokus pada ciri-ciri essensial yaitu arti-arti kesadaran. Jika reduksi fenomenologi dan eidos memberikan objek dari prasangka-prasangka awal sehingga dicapailah hakikatnya, maka pada reduksi ini, yang perlu dibersihkan adalah subjek yang mengamati. Artinya, subjek harus benar-benar terbuka dan murni, sehingga tidak ada kesempatan untuk meragukan apa yang diamatinya. Untuk itu, di sini perlu penyaringan terhadap segala sesuatu yang tidak memiliki hubungan timbal balik antara subjek dan objek. Pada akhirnya, dalam reduksi transendental pemisahan atau pembedaan subjek dan objek menjadi terhapus. Yang tersisa adalah meleburnya subjek dan objek sebagai kesatuan murni.

Jika reduksi fenomenologis dan reduksi transendental sama-sama diarahkan pada kesadaran, namun terdapat perbedaan yang mendasar di antara kedua jenis reduksi tersebut. Melalui reduksi fenomenologi, kita cukup menunda di dalam “tanda kurung”, seluruh prasangka yang terdapat di dalam kesadaran kita terhadap objek. Akan tetapi, dalam reduksi transendental yang diberi “tanda kurung” bukan hanya terbatas prasangka terhadap objek tapi juga keberadaan dari realitas secara keseluruhan. Maka, yang akan tampak ke permukaan setelah kita memberi tanda kurung itu, tidak lain adalah kesadaran kita sendiri serta aktivitas-aktiviasnya, yaitu aktivitas memberi makna transenden kepada apa yang sebenarnya merupakan bagian intergral di dalam kesadaran diri kita. Reduksi semacam ini memiliki dua sisi yang berlawanan yakni sisi negatif dan sisi positif. Sisi negatif dari produser ini adalah bahwa kita menjadi jauh dari dunia nyata (eksistensi). Namun sisi positif adalah bahwa kita mampu mendekati struktur keadaan (subjek) sendiri serta aktivitas-aktivitasnya. Dikemudian hari Husserl mengatakan bahawa untuk mengetahu gejala pertama dan asli yang terdapat dalam setiap pengetahuan dan teori ilmiah, kita harus mengalami terlebih dahulu hakikat kesadaran kita sendiri serta aktivitas-aktivitasnya. Alasannya adalah bahwa kesadaran yang sebenarnya merupakan landasan, akar, atau hakikat yang ada pada setiap pengetahuan atau teori ilmiah yang selama ini telah kita kenal. Tanpa kesadaran tidak ada pengetahuan atau teori ilmiah.

Demikian bahwa segala reduksi transedental kita sampai pada subjek transendental, yang merupakan sumber dari pemberian makna itu. Tujan dari reduksi transendental yakni menelusuri dan mengungkap sumber segala pemakaman dalam kesadaran kita sendiri. Ini sesuai dengan definisi fenomenologi seperti yang diungkap oleh Husserl sendiri yakni tentang “studi tentang esensi kesadaran dalam berbagai aktivitas”.

Demikian tiga tingkatan metode reduksi untuk menghasilkan sesuatu yang murni. Dalam kehidupan ini, orang terbiasa bersikap menerima segala sesuatu apa adanya (taken for granted). Kebanyakan orang tidak pernah mempersoalkan apakah pengetahuan yang dimilikinya benar-benar pengetahuan yang murni, yaitu betul-betul realitas itu sendiri atau jangan-jangan sekadar fatamorgana. Misalnya, seseorang menganggap bahwa orang yang berpakaian mengkilat, bagus pastiorang kaya, padahal sesungguhnya ialah orang miskin yang pura-pura kaya. Sebaliknya, orang yang berpakaian lusuh, kotor, jelek dianggap miskin padahal dia adalah orang kaya yang berpenampilan sederhana dan menyamar sebagai orang miskin. Sikap semacam ini, oleh Husserl dianggap Naturliche Einstellung (sikap alamiah), yaitu kepercayaan naif bahwa segala sesuatu ada begitu saja. Fenomenologi menolak sikap natural ini.

Menurut Husserl, untuk mengetahui realitas yang sebenarnya, kita harus melakukan reduksi (meletakkan segala pengalaman) atau menangguhkannya, sebagaimana yang telah dijelasakan. Metode fenomenologi ini dimaksudkan untuk mendekati atau melihat fenomen semurni mungkni. Jadi, yang diinginkan oleh fenomenologi melalui reduksi bukanlah feneomen yang biasa kita ketahui atau segala bentuk pengetahuan yang berdasarkan penafsiran-penafsiran orang lain, baik yang bersifat ilmiah maupun tidak, melainkan fenomena yang kita hayati atau fenomena yang sudah kita renungkan kemurniannya.

Selain mengajarkan bahwa kesadaran selalu mengarah pada dunia, fenomenologi juga mengajarkan bahwa dunia yang kita sadari tidak sepenuhnya menampakkan kepastiannya. Kita perlu mereduksi untuk menemukan “kesadaran” yang murni.

 

2.3.3 Esensi Kesadaran dan Aktivitas-aktivitasnya

Melalui reduksi transedental, Husserl menemukan adanya esensi kesadaran yang disebut intensionalitas. Kesadaran tidak lain adalah intensional, mengarah kepada sesuatu yang didasari (disebut objek intensional atau noematic). Setiap aktivitas menyadari (disebut aktivitas intensioanl atau noetic) adalah aktivitas menyadari sesuatu. Oleh karena itu, pengertian kesadaran oleh Husserl selalu dihubungkan dengan kutub objectifnya yakni objek yang disadari. Tidak pernah ada kesadaran yang kosong, nol, kesadaran tanpa objek intensional. Demikian juga tidak ada objek intensional (noematic) tanpa adanya aktivitas intensional (noetic). Kedua hal tersebut selalu berada dalam kesadaran berkolerasi dalam keadaan berdialektis. Penyelidikan Hussrel mengenai struktur intensionalitas kesadaran, berhasil menemukan adanya empat aktivitas yang melekat (inheren) dalam kesadaran yaitu objektivitas, identifikasi, korelasi, dan konstitusi.

  1. Intensionalitas adalah objektifitas

Intensionalitas berarti mengalahkan data (yang merupakan bagian integral dari aliran kesadaran) kepada objek-objek intensional. Objek-objek intensional hanya tampak melalui data tersebut, yang oleh Husserl disebut data hyletic. Fungsi intensionalitas adalah menghubungkan data (yang sudah terdapat dalam aliran kesadaran). Dengan begitu, Husserl melihat dalam pengarahan intensional itu adanya suatu struktur kompleks, dan di dalam struktur tersebut data digunakan sebagai bahan mentah dan diintegrasikan ke dalam objek yang membentuk kutub objektifnya. Objektifikasi semacam ini terutama tampak misalnya di dalam persepsi dan aktivitas-aktivitas kesadaran lainnya seperti dalam berpikir dan meragukan.

  1. Intensionalitas adalah Identifikasi

Setelah mengadakan objektifikasi, intensionalitas kemudian mengarahkan berbagai data yang datang dari berbagai peristiwa kemudian kepada objek hasil objektifitas tadi. Identifikasi ini banyak dipengaruhi oleh pelbagai aspek dari dalam, seperti motivasi, minat, keterlibatan emosional maupun intelektual. Identifikasi ini perlu karena jika tidak, maka tidak ada objek yang identik, selain sensasi-sensasi belaka.

  1. Intensionalitas adalah Menghubung-hubungkan

Setiap aspek dari objek yang identik menunjuk pada aspek-aspek lain yang menjadi horisonnya. Bagian depan sebuah objek menunjuk pada bagian-bagian samping, muka, bawah, dan belakang. Aspek-aspek atau bagian-bagian yang menjadi horison dari objek tadi memberi pengharapan kepada subjek untuk mengalaminya kembali di kemudian hari. Pengharapan tersebut mungkin terwujud atau mungkin juga tidak terwujud dalam perkembangan pengalaman nanti. Namun yang jelas adalah bahwa aspek-aspek atau bagian-bagian tersebut selalu dibayang-bayangi oleh objek identik yang sudh tampak lebih awal.

  1. Intensionalitas adalah Konstitusi (Menciptakan)

Prestasi sesungguhnya dari intensionalitas terletak pada konstitusi (menciptakan). Di sini aktivitas-aktivitas intensional berfungsi mengkonstitusi objek-objek intensional. Oleh sebab itu, objek intensional tidak lagi dipandang sebagai suatu yang sudah ada begitu saja bagi aktivitas-aktivitas intensional, melainkan diciptakan oleh aktivitas-aktivitas intensional itu sendiri. Dengan perkataan lain, objek intensional sebenarnya berasal dari endapan-endapan aktivitas-aktivitas intensional.

 

Menjelang akhir hidupnya, ketika Sosialisme Nasional mengencangkan cengkeramannya di Jerman dan sekali lagi dunia sedang bersiap berperang. Husserl mengalami perubahan filosofi lainnya, mungkin yang dapat diperkirakan, suatu perubahan ke arah dimensipengetahuan manusia yang praktis atau oleh orang tertentu disebut dimensi “eksistensial”. Memperingatkan suatu “krisis” di dalam peradaban Eropa yang berdasarkan relativisme yang merajaleladan irasionalisme (suatu peringatan yang telah disampaikan oleh para positivis logis,kira-kira pada waktu yang bersamaan di Wina). Husserl menerbitkan Crisis of European Philosophy (1937). Disana fokusnya berbalik pada “dunia hidup” yang hakikat eksistensi sosial, topik-topik yang memainkan peran penting dalam penyelidikan-penyelidikannya yang lebih awal tentang filsafat aritmatika dan hakikat kesadaran individual.

Relativisme dan irasionalisme yang telah dicela Husserl dan yang untuknya fenomenologinya telah dirumuskannya sebagai penawar racun yang tidak lagi sebagai kesombongan intelektual. Hal ini merupakan daya-daya aktif masyarakat. Ia percaya bahwa filsafat dapat menyelamatkan dunia. Seperti yang akan kita lihat, bahwa ini bukan suatu ide yang langka dalam tahun-tahun mengerikan 1930-an sepanjang sejarah filsafat Jerman modern. Persoalan ini akan sangat mempengaruhi para fenomenolog yang mengikuti Husserl, khususnya bagi Martin Heidgger yang telah menerbitkan buku Being and Time satu dekade lebih awal, dan bagi Jean Paul Sarter yang karya fenomenologisnya sedang berkembang.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

KESIMPULAN

 

Eksistensialisme: protes atas nama individualis terhadap konsep-konsep akaldan alamyang ditekankan pada periode Pencerahan (Enlightenment) pada abad ke-18. Eksistensialisme: pemberontakan terhadap alam yang impersonal(tanpa kepribadian) dari zaman industri modern atau zaman teknologi. Eksistensialisme: protes terhadap gerakan-gerakan totaliter, baik gerakan fasis, komunis atau lain-lainnya yang condong untuk menghancurkan atau menenggelamkan perorangan di dalam kolektif atau massa.

Arti yang sempit dari fenomenologi, yaitu arti sebagai metoda. Berfilsafat harus dimulai dengan usaha yang terpadu untuk melukiskan isi kesadaran. Suatu usaha yang jelas adalah sangat perlu bagi deskripsi. Fenomenologis memperhatikan benda-benda yang kongkrit, bukan dalam arti yang ada dalam kehidupan sehari-hari, akan tetapi dengan struktur yang pokok dari benda-benda tersebut, sebagaimana yang kita rasakan dalam kesadaran kita, karena kesadaran kita adalah ukuran dari pengalaman.

Fenomenologi menurut Edmund Husserl merupakan metoda filsafat sebagai metoda ia membentangkan langkah-langkah yang harus diambil sehingga bisa sampai kepada fenomena yang murni.Harus mulai dengan subyek (manusia) serta kesadarannya dan berusaha untuk kembali kepada ‘kesadaran yang murni’. Untuk mencapai bidang kesadaran murni, kita harus membebaskan diri dari pengalaman serta gambaran kehidupan sehari-hari; jika hal ini sudah dilakukan, akan tersisa gambaran-gambaran yang essensial atau intuisi esensi (intuition of essence). Fenomenologi berusaha untuk menyajikan filsafat sebagai metoda yang pokok dan otonom, suatu sains akar (root science) yang dapat mengabdi kepada segala pengetahuan.. Fenomenologi memberi pengetahuan yang perlu dan esensial tentang apa yang ada. Dengan begitu, fenomenologi dijelaskan sebagai kembali kepada benda. Yang dibedakan dengan adanya tiga reduksi yaitu reduksi eidetis, reduksi fenomenologi dan reduksi transidental.

Eksistensialisme dan fenomenologi merupakan dua gerakan yang sangat erat dan menunjukkan pemberontakan terhadap metoda-metoda dan pandangan-pandangan filsafat Barat yang tradisional. Tetapi gerakan-gerakan ini sangat berbeda dengan pemberontakan yang dilakukan oleh filsafat analitik. Eksistensialisme dan fenomenologi menyajikan sikap atau pandangan yang menekankan kepada eksistensi manusia, artinya kualitas-kualitas yang membedakan antara individual (perorangan) dan tidak membicarakan manusia secara abstrak atau membicarakan alam atau dunia secara umum.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR  PUSTAKA

 

 

Abidin, Zainal. 2011. “Filsafat Manusia; Memahami Manusia Melalui Filsafat”. Bandung:  Remaja Rosdakarya.

Solomon, C Robert. 2000. “Sejarah Filsafat”. Jogjakarta : Bentang Budaya

Rahman, Masyukri Arif. 2013. “Buku Pintar Sejarah Filsafat Barat”.  Jogjakarta. IRCisoD

Solihin, M. 2007. “Perkembangan Pemikiran Filsafat Dari Klasik Hingga Modern”. Bandung: CV Pustaka Setia.

Save M Dagun. 1990. “Filsafat Eksistensionalisme”. Jakarta : Rineka Cipta

Journal pendidikan Universitas Negeri Jogyakarta tentang “Filsafat Eksistensialisme” yang diakses pada tanggal 18 September 2016.

 

Leave a comment