“PEMIKIRAN EMILE DURKHEIM : TEORI AGAMA”

PENDAHULUAN

Melihat kondisi masyarakat masa kini terutama mengenai agama yang sudah sangat heterogen dengan berbagai agama yang dianut di muka bumi ini. Juga berbagai sekularisasi agama karena berkembangnya ilmu pengetahuan atau sains. Jika dipikirkan lebih lanjut, apa sih pengertian dari agam itu dan bagaimana agama itu bisa tercipta dan berkembang hingga saat ini. Dan apa tujuan manusia di dunia ini memiliki agama. Sebenarnya teori tentang agama telah berkembang sejak zaman dahulu ketika ide tentang adanya Tuhan atau roh-roh. Gagasan Emile Dukheim salah satu tentang masyarakat adalah gambaran sumber dari keagamaan, bukan ciri khas kehidupan keagamaan, tetapi masyarakatlah sumber gambaran keagamaan, kultus, dan penuhanan. Gagasan dari mazhab ini yaitu;

Pertama, tidak ada sekelompok manusia yang tidak mempunyai gambaran tegas tentang asal-usul manusia kemana perginya, sebab keberadaanya, atau asal-usul alam semesta. Problem tersebut dijawab dengan tafsiran tentang adanya Tuhan yang bersumber dari wahyu dan bahkan hanya akal saja. Dalam  ajaran Budha atau Jainisme, mereka tetap mengakui adanya dewa, seperti dalam kepercayaan India yang disebut dengan Indra, Agni, dan Taruna. Mereka juga berpikir bahwa kesengsaraan adalah akibat menuruti syahwat tubuh, sehingga menyebabkan terjadinya inkarnasi dan hidup kembali setelah mati dalam bentuk jasad apa saja.  Agar tidak mengalami inkarnasi adalah dengan menjauhi dunia dan hidup sebagai pendeta. Dewa-dewa yang diakui oleh umat Budha kuno hanya berkuasa atas duni kebendaan saja. Mereka sebenarnya tidak menyembah dewa, bahkan ingin melepaskan diri dengan mati abadi.

Kedua, yaitu didasarkan pada pembagian wujud menjadi dunia suci dan dunia nyata.denga memasukkan unsur sihir (magic) ke dalam agama, karena landasan magic sama dengan landasan agama, yaitu sama-sama membagi wujud sakral dan tidak sakral (profan). Sementara itu terjadi perdebatan yang berkaitan dengan agama dan magic.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Biografi Tokoh Emile Durkheim

 

Dilahirkan di Epinal Perancis yang terletak di Lorraine pada 15 April 1858. Ia berasal dari keluarga Yahudi Perancis yang saleh dan kakenya Rabi, hidupnya sendiri sama sekali sekuler. Kebanyakan karyanya dimaksudkan untuk membukikan bahwa fenomena keagamaan berasal dari faktor-faktor sosial dan bukan ilahi. Ia mendirikan fakultas sosiologi pertama di sebuah universitas Eropa pada 1895, dan menerbitkan salah satu jurnal pertama yang diabdikan kepada ilmu sosialL’Année Sociologique pada 1896.

Durkheim adalah mahasiswa yang cepat matang. Ia masuk ke École Normale Supérieure pada 1879. Angkatannya adalah salah satu yang paling cemerlang pada abad ke-19 dan banyak teman sekelasnya, seperti Jean Jaurès dan Henri Bergson kemudian menjadi tokoh besar dalam kehidupan intelektual Perancis. Di ENS Durkheim belajar di bawah Fustel de Coulanges, seorang pakar ilmu klasik, yang berpandangan ilmiah sosial. Pada saat yang sama, ia membaca karya-karya Auguste Comte dan Herbert Spencer. Jadi, Durkheim tertarik dengan pendekatan ilmiah terhadap masyarakat sejak awal kariernya. Ini adalah konflik pertama dari banyak konflik lainnya dengan sistem akademik Prancis, yang tidak mempunyai kurikulum ilmu sosial pada saat itu. Durkheim merasa ilmu-ilmu kemanusiaantidak menarik. Ia lulus dengan peringkat kedua terakhir dalam angkatannya ketika ia menempuh ujian agrégation .

Minat Durkheim dalam fenomena sosial juga didorong oleh politik. Kekalahan Perancis dalam Perang Perancis-Prusia telah memberikan pukulan terhadap pemerintahan republikan yang sekuler. Banyak orang menganggap pendekatan Katolik, dan sangat nasionalistiksebagai jalan satu-satunya untuk menghidupkan kembali kekuasaan Perancis yang memudar di daratan Eropa. Durkheim, seorang Yahudi dan sosialis, berada dalam posisi minoritas secara politik, suatu situasi yang membakarnya secara politik. Peristiwa Dreyfus pada 1894 hanya memperkuat sikapnya sebagai seorang aktivis. Tahun 1890-an adalah masa kreatif Durkheim. Pada 1893 ia menerbitkan “Pembagian Kerja dalam Masyarakat”, pernyataan dasariahnya tentang hakikat masyarakat manusia dan perkembangannya. Pada 1895 ia menerbitkan “Aturan-aturan Metode Sosiologis”, sebuah manifesto yang menyatakan apakah sosiologi itu dan bagaimana ia harus dilakukan. Ia pun mendirikan Jurusan Sosiologi pertama di Eropa di Universitas Bourdeaux. Pada 1896 ia menerbitkan jurnal L’Année Sociologique untuk menerbitkan dan mempublikasikan tulisan-tulisan dari kelompok yang kian bertambah dari mahasiswa dan rekan (ini adalah sebutan yang digunakan untuk kelompok mahasiswa yang mengembangkan program sosiologinya). Dan akhirnya, pada 1897, ia menerbitkan “Bunuh Diri”, sebuah studi kasus yang memberikan contoh tentang bagaimana bentuk sebuah monograf sosiologi.

Perang Dunia I mengakibatkan pengaruh yang tragis terhadap hidup Durkheim. Pandangan kiri Durkheim selalu patriotik dan bukan internasionalis – ia mengusahakan bentuk kehidupan Perancis yang sekuler, rasional. Tetapi datangnya perang dan propagandanasionalis yang tidak terhindari yang muncul sesudah itu membuatnya sulit untuk mempertahankan posisinya. Sementara Durkheim giat mendukung negaranya dalam perang, rasa enggannya untuk tunduk kepada semangat nasionalis yang sederhana (ditambah dengan latar belakang Yahudinya) membuat ia sasaran yang wajar dari golongan kanan Perancis yang kini berkembang. Yang lebih parah lagi, generasi mahasiswa yang telah dididik Durkheim kini dikenai wajib militer, dan banyak dari mereka yang tewas ketika Perancis bertahan mati-matian. Akhirnya, René, anak laki-laki Durkheim sendiri tewas dalam perang – sebuah pukulan mental yang tidak pernah teratasi oleh Durkheim. Selain sangat terpukul emosinya, Durkheim juga terlalu lelah bekerja, sehingga akhirnya ia terkena serangan lumpuh dan meninggal pada 1917.

Karya-karya utama :

The Division of Labour in Society (1893)

Rules of Sociological Method (1895)

Suicide (1897)

The Elementary Form of Religious Life (1912)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

KUNCI  PEMIKIRAN  TEORI  AGAMA  DURKHEIM

 

  1. Latar Belakang Agama dan Masyarakat

Secara historis antropologi yang mendasari sosiologi Emile Durkheim tentang agama adalah mengeksplorasi sendiri studinya tentang totemisme Australia. Di Australia, ada suatu suku bangsa yaitu Aborigin yang disebut juga Arunta. Suku ini terbagi atas dua kelompok. Band adalah kelompok domestik yang hidup bersama hari demi hari, menempuh berburu dan meramu dalam hutan. Orang Arunta juga masuk ke dalam kelompok yang lebih besar yakni klen. Setiap klen Arunta terdiri dari orang-orang yang yakin bahwa mereka berasal dari satu nenek moyang, yang artinya mereka berasal dari satu keturunan yang sama. Setiap klen memiliki totem, yaitu  suatu objek dalam kehidupan alam yang diyakini warga klen orang Arunta sebagai suatu yang khusus maknanya. Kadang-kadang (meski jarang terjadi) seluruh anggora klen termasuk band-band lain berkumpul untuk melakukan pemujaan terhadap totem. Dalam kehidupan sehari-hari, kapan saja mereka bertemu dengan objek (totem), mereka memperlakukan dengan hormat, atau diperlakukan sebagai objek yang sakral.

Durkheim tidak peduli dengan orang Arunta dengan totemnya dalam masyarakat, karena totemisme itu sudah ada ketika orang Arunta lahir dan tetap ada ketika orang Arunta meninggal. Yang ingin Durkheim identifikasi adalah bagaimana fungsi totemisme terhadap sistem sosial orang Arunta. Dalam salah satu karyanya The Elementary Forms of Religious Life, mengemukakan agama pada suku yang sangat primitif merupakan suatu kekuatan integrasi yang sangat kuat. Tujuan utama agama adalah membantu orang berhubungan bukan dengan Tuhannya, melainkan dengan sesamanya, ritual-ritual religius membantu orang mengembangkan rasa sepagutupan (sense of community), misalnya mereka bersama-sama menggambil bagian dalam kelahiran, kematian, perkawinan dan ikut musim panen.  Hal ini sejalan dengan pentingnya peranan nilai-nilai dalam sistem sosial yaitu mempersatukan kelompok dengan cara kontradiksi sosial sebagaimana oleh pendapat para fungsionalis.

  1. Totem(isme)

Secara sederhana, totem adalah simbol. Totem adalah simbol dari kekuatan gaib yang disembah oleh anggota masyarakat atau klan tertentu. Perwujudan totem biasanya mengambil bentuk dalam rupa binatang atau tetumbuhan yang memiliki hubungan organisasional khusus dengan masyarakat atau klan tertentu. Selain itu, pada saat yang sama, totem juga merupakan sesuatu yang konkret, yang menjadi gambaran nyata sebuah klan. Secara analog, kita bisa membandingkan penggunaan totem dengan lambang atau logo sebuah perkumpulan tertentu. Kelompok sepak bola Malang, misalnya, menggunakan logo bergambar singa yang mengaum dengan latar berwarna biru. Jadi, ketika suatu saat kita melihat gambar singa yang mengaum dengan latar yang berwarna biru, ingatan kita langsung tertuju pada perkumpulan sepak bola yang direpresentasikan oleh gambar tersebut. Begitu pun halnya dengan totem. Totem merupakan simbol yang merepresentasikan kehadiran dari tuhan dan sekaligus juga melambangkan ciri-ciri suatu klan tertentu.  Jadi, dengan demikian, totemisme memiliki fungsi ganda dalam kehidupan suatu klan. Ia tidak hanya sekadar berfunsi sebagai sosok yang disembah atau yang disakralkan oleh suatu klan tertentu. Tetapi, ia juga menjadi simbol atau lambang kelompok dan menjadi sarana pemersatu dalam klan tersebut. Oleh karena itu, dalam pengamatan Durkheim, ia melihat bahwa setiap binatang atau tetumbuhan yang bukan totem boleh diburu atau dimakan, karena binatang atau tetumbuhan tersebut tidak melambangkan kekuatan gaib klan. Mereka termasuk dalam bagian dari Yang Profan. Tapi, tidak  demikian halnya dengan binatang atau tetumbuhan yang dijadikan totem. Binatang atau tetumbuhan tersebut adalah bagian dari yang Sakral, yang harus disembah, karena melambangkan kekuatan gaib klan, oleh karena itu, binatang atau tetumbuhan tersebut menjadi terlarang bagi seluruh anggota klan. Durkheim berpendapat bahwa simbol-simbol yang dihadirkan dalam totem bukan hanya menjadi bagian dari Yang Sakral, tetapi juga merupakan perwujudan dan contoh yang sempurna dari Yang Sakral. Sebagaimana Durkheim menulis:

“…lambang-lambang totemik dapat dikatakan sebagai sebaga tubuh tuhan yang bisa diraba. Dari totemlah muncul aktus-aktus penghormatan atau ketundukan yang menjadi tujuan pemujaan…. Inilah sebabnya kenapa totem menempati posisi tertinggi dari susunan hal-hal yang sakral.”

Sebagai perwujudan yang sempurna dari Yang Sakral, binatang atau tetumbuhan yang hadir dalam totem tersebut juga mengkomunikasikan kesakralannya kepada makhluk yang ada di sekelilingnya. Misalnya saja, ketika klan tertentu berkumpul untuk mengadakan upacara keagamaan, maka kita akan mendapati wujud dari totem yang hadir dalam beragam ukiran pada kayu atau batu, yang biasanya diletakkan di tengah tempat upacara. Tujuan dari pengukiran totem dan peletakkannya di tengah-tengah tempat upacara semata-mata hanya untuk menghadirkan perasaan kolektif diantara para anggota klan, bahwa sosok Yang Sakral, yang mereka sembah,  ada dan hadir ditengah-tengah mereka.

Durkheim yakin bahwa agama bukanlah suatu yang alami dalam individu, melainkan suatu” produk dari sebeb – sebab sosial , yang tidak mungkin  memisahkannya dari suatu seting sosial”. Penekanan Durkheim tanpa henti bahwa sosiologi seharusnya menjelaskan fakta-fakta sosial, fenomena sosial, bukan menjelaskan manifestasi perorangan, melainkan sosial, memperluas bahasanya tentang agama. Teori agama yang digagas oleh Durkheim menunjukkan kepada kita bahwa agama itu tidak bisa dianggap sebagai sesuatu yang terisolir dari masyarakat dimana ia berada. Agama itu selalu bersifat sosial, karena pada dasarnya ia lahir dari konsensus masyarakat terhadap apa yang dianggap religius atau sakral. Ia juga dianggap bersifat sosial karena dalam perayaan-perayaan keagamaan selalu hadir banyak orang yang secara bersama-sama membangun suasana mental tertentu, yang oleh Durkheim disebut sebagai “keriang-gembiraan kolektif.” Nah, jika demikian, “Bagaimana dengan realitas keagamaan kita sekarang?” “Apakah realitas keagamaan kita sekarang masih menghadirkan sifat -sifat sosial dalam dirinya?” Jika kita sedikit menilik realitas hidup keagamaan kita, maka kita akan menemukan banyak sekali contoh yang meneguhkan klaim-klaim yang telah diajukan oleh Durkheim mengenai agama. Tengok saja kerumunan orang yang berkumpul disekitar dan/atau  di dalam masjid, gereja, vihara, atau tempat-tempat peribadatan lainnya. Kerumunan orang tersebut hadir disana untuk menyembah dan menghormati sesuatu yang mereka anggap sebagai Yang Transenden atau Yang Sempurna dari Yang Sakral, entah itu Allah, Tuhan, God, Dewa, Budha, dsb. Dan, melalui suasana mental tertentu yang mereka bangun, apa yang sakral dari agama tersebut menjadi semakin bernilai dan berarti kehadirannya.

  1. Yang Sakral dan Yang Profan

Pemisahan antara Yang Sakral dengan Yang Profan merupakan hal yang mendasar  dalam analisis terhadap agama. Hal-hal Yang Sakral selalu diartikan sebagai sesuatu yang superior, berkuasa, dalam kondisi normal tidak tersentuh, dan selalu dihormati. Sebaliknya, hal-hal Yang Profan adalah bagian keseharian dari hidup dan bersifat biasa-biasa saja. Dan, konsentrasi utama terletak pada hal yang Sakral. Sebagimana Durkheim menulis:

“Semua kepercayaan religius, yang sederhana maupun yang kompleks, memperlihatkan satu ciri umum, yaitu mensyaratkan pengklasifikasian antara yang sakral dengan yang profan. Hal-hal yang sakral adalah hal-hal yang dilindungi dan diisolasi oleh larangan-larangan; hal-hal yang profan adalah hal-hal tempat    larangan-larangan itu diterapkan dan harus dibiarkan berjarak dari hal-hal yang sakral.”

Dengan demikian, dunia Yang Sakral merupakan bagian terpisah dari dunia Yang Profan. Yang Profan tidak dapat memasuki dunia Yang Sakral. Karena, apabila Yang Profan dapat memasuki  dunia Yang Sakral, maka Yang Sakral tersebut akan kehilangan arti kesakralannya. Misalnya, sebuah gedung gereja akan nampak kesakralannya ketika gedung gereja tersebut hanya difungsikan sebagai tempat beribadah, tempat orang untuk berjumpa dengan Tuhan. Akan tetapi, ketika gedung gereja tersebut beralih fungsi menjadi tempat perbelanjaan atau kantor, maka kualitas sakral yang sebelumnya disematkan pada gedung gereja tersebut akan menjadi hilang dan tidak berarti lagi.

Lantas, “Bagaimana sebuah objek dapat menjadi sakral?” Berkaitan dengan hal ini Durkheim menulis:

“ kekuatan religius tidak lain tidak bukan adalah perasaan-perasaan dalam diri setiap individu yang dipancing oleh kolektivitas, akan tetapi diproyeksikan ke luar pikiran yang mencerap dan mengobjektivikasinya. Agar bisa bisa diobjektivikasi, kekuatan tersebut harus melekat pada sesuatu yang kemudian menjadi sakral. Kesakralan yang dimiliki oleh sesuatu tidaklah muncul dari sisi intrinsik sesuatu tersebut: Kesakralan tersebut diimbuhkan padanya.”

Menjadi jelas disini, bahwa penetapan sakral atau tidaknya suatu objek tertentu sangat dipengaruhi oleh konsepsi-konsepsi kolektif  yang berkembang dalam masyarakat. Masyarakat, lewat dominasi kolektifnya, bisa saja mengatakan bahwa binatang x itu sakral atau tumbuhan z itu sakral. Masyarakat memiliki kuasa untuk membuat objek-objek tertentu jadi sakral, sebab kualitas Yang Sakral hanya diimbuhkan atau ditambahkan saja pada objek-objek tertentu tersebut.

Misalnya, ketika seekor binatang tertentu dianggap suci, “adanya” masihlah tetap sebagai seekor binatang. Ia tidak berbeda dengan binatang-binatang sejenisnya yang lain. Tetapi, ketika binatang tersebut menjadi objek yang suci, ia memperoleh kualitas yang disebut suci. Perubahan kualitas itulah, dari yang semula adalah seekor binatang biasa menjadi binatang suci, yang membedakannya dengan binatang-binatang biasa lainnya. Dalam hal ini, sekali lagi, konsensus yang ada dalam masyarakat ikut menentukan transformasi kualitas sebuah benda atau seekor binatang tertentu menjadi Yang Sakral, yang harus dihormati oleh banyak orang.

 

  1. Definisi Agama

Durkheim memberikan penjelasan yang terperinci tentang agama, gereja, ilahilah dan duniawi sehingga para sosiolog dapat mengenali dan membedakan antara agama dan bukan agama. Durkheim juga kesulitan untuk membentuk ilmu sosial agama yang melampaui metode lama mahzab antropologi. Menurutnya tujuan dari metode tersebut adalah untuk melampaui perbedaan nasional dan historis terhadap basis manusia yang universal dan sesungguhnya dari kehidupan beragama yang bebas dari tatanan sosialnya. Meskipun sejalan dengan tujuan ilmiah antar antropolog dalam upayanya memahami sifat religius manusia, yakni Durkheim yakin manusia bukanlah sesuatu yang alami dalam individu, melainkan suatu produk dari sebab-sebab sosial yang tidak mungkin memisahkan dari suatu seting sosial (2001[1912]). Seting sosial, Durkheim memberikan penekanan tanpa henti seharusnya sosiologi seharusnya menjelaskan fakta-fakta sosial, fenomena sosial bukan dalam hal manifestasi perorangan, melainkan sosial, untuk memperluas bahasannya tentang agama.

Penekanan tentang seting sosial dan konsekuensi sosial dari agama dan dipengaruhi oleh pendapat Tylor bahwa suatu definisi yang sempit tentang agama sebagai keyakinan kepada suatu zat yang maha tinggi akan menaifkan keyakinan kesukuan terhadap spiritual mendorong Durkheim untuk memberikan suatu definisi yang luas tentang apa yang suci itu. Durkheim menyatakan bahwa semua agama mengklasifikasikan kesucian (segala hal yang dikesampingkan dan dilarang) dan keduniawian (2001[1912] :36). Hal yang dianggap suci tidak melekat dalam sesuatu itu sendiri namun ditentukan oleh masyarakat tertentu. Karena manusia atau alam tidak suci dengan sendirinya, sifat kesucian ini pasti datang dari sumber lain (2001[1912] :76), dan sumber itu adalah masyarakat. Maka persatuan dan keberagaman kehidupan sosial yang menciptakan baik persatuan dan keberagaman dari makhluk dan benda-benda suci.

Durkheim memberikan definisi yang jelas mengenai apa yang menjadikan agama sebagai suatu praktik sosial, dengan menyatakan “fenomena religius secara alami terbagi menjadi dua kategori dasar, yaitu keyakinan dan ritual. Yang pertama merupakan pendapat dan representasi (simbol-simbol), yang kedua adalah cara berperilaku yang baku (praktik-praktik khusus). Setelah penekanan Durkheim tentang sifat kolektif pada kehidupan sosial, keyakinan dan ritual keagamaan atau ritual bukanlah khas perseorangan, namun pasti merupakan milik bersama. Fokus telaahnya pada unsur-unsur sosial yang menghasilkan solidaritas dengan melihat agama sebagai faktor esensial bagi identitas dan integrasi masyarakat. “Agama merupakan suatu sistem interpretasi diri kolektif. Dengan kata lain, agama adalah sistem simbol dimana masyarakat bisa menjadi sadar akan dirinya, ia adalah cara berpikir tentang eksistensi kolektif” (Durkheim, 1950 : 315). Agama tidak lain adalah proyeksi masyarakat sendiri dalam kesadaran manusia. Selama masyarakat masih berlangsung, agama pun akan tetap lestari. Masyarakat, bagaimanapun akan tetap menghasilkan simbol-simbol pengertian diri kolektifnya dan dengan demikian menciptakan agama.

Keyakinan agama yang tepat selalu dimiliki oleh sekumpulan orang tertentu yang menganut dan mempraktikkan ritual yang menyertai keyakinan itu. Keyakinan ini tidak hanya dimiliki oleh setiap anggota kumpulan ini sebagai perorangan, melainkan juga oleh kelompok tersebut dan mempersatukan mereka. Individu yang membentuk kelompok ini terkait satu sama lain melalui kesamaan keyakinan. Masyarakat yang anggotanya bersatu karena memiliki konsepsi yang sama tentang dunia yang suci dan hubungannya dengan dunia yang sekuler, dan yang mengartikan konsepsi bersama ini menjadi praktik-praktik yang sama, adalah apa yang kita sebut sauatu gereja. Sekarang secara historis, kita tidak menemukan agama tan[a suatu geraja (2001[1912] :42-43).

Dalam telaah Durkheim yang terfokus pada unsur-unsur sosial yang menghasilkan solidaritas, ia melihat agama sebagai faktor esensial bagi identitas dan integrasi masyarakat  “Agama merupakan suatu sistem interpretasi diri kolektif. Dengan kata lain, agama adalah simbol dimana masyarakat bisa menjadi sadar akan dirinya; ia adalah cara berpikir tentang eksistensi kolektif” (Durkheim, 1950:315)

Masyarakat diikat oleh sistem simbol yang umum. Sistem simbol itu akan berpusat pada martabat manusia sebagai pribadi, kesejahteraan umum, dan norma-norma etik yang selaras dengan karakteristik masyarakat itu sendiri. Setiap masyarakat akan menciptakan agamanya sendiri. Setiap masyarakat alam proses menghayati cita-citanya.yang tertinggi akan menumbuhkan kebaktian pada representasi diri simboliknya. Tidak ada masyarakat yang tidak merasa perlu menegaskan dan meneguhkan, pada selang waktu tertentu, perasaan dan gagasan kolektifnya yang menciptakan kesatuan dan kepribadiannya (Durkheim, 1965: 475).

Durkheim sering dikritik karena ia melihat agama hanya sebagai ideologi yang melegitimasikan tatanan sosial. Kritik seperti itu kurang tepat. Sebab bagi Durkheim, agama mengekspresikan nilai-nilai terdalam yang ada dalam tatanan sosial, mengenang saat-saat yang berarti dalam sejarah dan memproyeksikan gambaran simbolik mengenai masa depan masyarakat. Agama pada masa tertentu dapat berfungsi sebagai pelindung tatanan sosial, dan pada saat lainnya dapat menilai kondisi sosial saat sekarang dengan mengacu pada gambaran masyarakat ideal. Dengan demikian dapat menumbuhkan gerakan pembaruan.

 

  1. Agama dan Sekularisasi

Konseptualisasi Durkheim tentang berpindah-pindah tempat agama dalam masyarakat modern jauh lebih ambigu. Di satu sisi, Durkheim menyadari bahwa dengan tumbuhnya masyarakat modern dan terutama meningkatnya individualisme yaitu yang diperlukan oleh pembagian kerja terspesialisasi dan perluasan progresif sains sebagai dasar dari pengetahuan, terkendali dogmatis terhadap sistem religius tradisional akan berkurang. Ia menyatakan bahwa kenyataan-kenyataan di mana spekuasi religius diterapkan adalah kenyataan-kenyataan yang sama yang kemudian akan berfungsi sebagai objek dari refleksi ilmiah : alam, manusia, dan masyarakat. Misteri yang tampaknya mengelilingi ketiganya sangatlah dangkal dan berkurang melalui pengamatan mendalam : bukanlah tudung yang digunakan imajinasi mitologis untuk menutupi kenyataan-kenyataan tersebut, dan akan terlihat yang sesungguhnya dari kenyataan itu. Agama berusaha menerjemahkan kenyataan ini ke dalam bahasa yang mudah dipahami yang tidak berbeda jenisnya dari bahasa yang digunakan oleh sains, keduanya menghubungkan berbagai hal satu sama lainnya, membangun hubungan internal antara kesemuanya, mengklasifikaskan dan mensistematiskannya…..Dalam hal ini keduanya mengejar tujuan yang sama, pemikiran ilmiah semata-mata adalah suatu bentuk yang lebih sempurna dari pemikiran religius. Maka dari itu, tampak alami jika agama seharusnya perlahan menghilang karena sains semakin mahir dalam melaksanakan tugasnya…….. Apa yang dipermasalahkan sains tentang agama bukanlah haknya untuk anda namun haknya untuk menjadi dogmatik terkait sifat dari segala sesuatu, jenis kompetensi khusus yang diakuinya karena pengetahuannya tentang manusia dan dunia. Pada kenyataannya, agama tidak mengenali dirinya sendiri. Agama tidak mengetahui ia terbuat dari apa atau kebutuhan apa yang dipenuhinya. Bukannya meneruskan ketentuan ini kepada sains, agama sendiri merupakan objek studi ilmiah. Dan karena spekulasi religius tidak memiliki objek yang tepat, di masa depan agama jelas tidak dapat memainkan peran yang sama dengan perannya di masa lalu.

Meskipun Durkheim menyatakan tentang bertahan lamanya kenyataan tentang agama dan kekuatan integrasi sosialnya, para pengikut sosiologi selanjutnya lebih banyak mempercayai prediksi webber, bahwa agama akan dikacaukan oleh kekuatan progresif tentang rasionalitas dan ilmu pengetahuan. Teori sekularisasi telah melalui berbagai makna, namun asumsi sebenarnya adalah perubahan sosial hampir selalu disertai dengan suatu pola progresif dari suatu penurunan dalam kekuasaan dan signifikasi agama dalam masyarakat, baik dalam budaya publik ataupun kehidupan perorangan.

Daya tarik teori evolusi yang menyatakan suatu model perubahan sosial yang relatif sederhana, linear dan progresif membantu menjelaskan dan diyakini tentang sekularisasi. Pada akhirnya pergerakan sejarah seperti dinilai oleh webber , Durkheim serta Marx merupakan suatu sejarah yang menunjukan peningkatan pesat pembagian kerja dan peningkatan terkait lainnya dalam kapasitas produksi dan sumber daya pada masyarakat kapitalis modern. Rasionalitas berkebalikan dengan aksesnya yang ditunjukan melaui sangkar besinya Webber, pathologi oleh Durkheim dan pengasinga buruh oleh Marx dipandang secara meluas sebagai modus operandi masyarakat kapitalis modern. Dan dalam kerangka evolusi ini asumsi bahwa agama aka dibawa lebih jauh menuju pinggiran melaui dominasi penalaran dan sains dalam kehidupan sehari-hari dapat dipahami secara intelektual

Namun disaat yang sama Durkheim juga menyadari bahwa Ilmu Pengetauan Ilmiah saja tidak cukup untuk mempertahankan ikatan yang diperlukan dalam integrasi sosial. Maka dari itu, menurutnya agama dan sains tidak berseteru satu sama lain. melainkan memiliki fungsi yang saling  bergantung. Sains memberikan pengetahuan, namun agama dan ekuivalensi fungsionalnya memberikan aksi “tindakan pembentukan kembali moral” yang ada seputar ritual dan keyakinan suci. Maka dari itu, ia menyatakan,” sains mungkin tidak dapat mengambil alih posisi agama. Karena sains mengekspresikan hidup, bukan menciptakannya. Selain itu, Durkheim menyatakan bahwa agama akan tetap menjadi suatu fakta sosal, suatu kenyataan sosial yang tidak dapat disangkai oleh ilmu pengetahan , degan kata lain agama akan beradaptasi dan mengubah dirinya sendiri dan tidak akan menghilang. Terutama Durkheim memandang agama yang suci sebagai suatu yang mengharuskan orang untuk berkumpul untuk bertindak secara bersama-sama dalam menghadapi kegembiraan dan kesedihan kehidupan sehari-hari. Ia penting bahwa agama tetaplah penting selamanya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

ANALISIS  TEORI

 

  1. Fungsionalisme dan agama

Dahulu kehidupan orang Arunta dengan keadaan yang sangat sederhana, untuk tetap bertahan hidup mereka saling tergantung satu sama lain. Kelompok-kelompok Arunta adalah gantungan hidup, kewajiban satu sama lain untuk menolong ketika membutuhkan bantuan, inilah satu-satunya harapan. Menurut Durkheim, yang dibutuhkan adalah cara untuk meyakinkan bahwa kelompok tetap penting di mata individu Arunta. Pengakuan kewajiban meluas keluar ke warga band-band. Jika kewajiban tidak meluas, kerapkali terjadi di antara orang-orang yang tidak memiliki atau tidak tahu kewajibannya. Maka bisa jadi setiap band justru akan bersaing, berkelahi, untuk merebutkan sumber daya yang terbatas di lingkungan mereka. Dalam sistem sosial orang Arunta jawaban atas persoalan kebutuhan akan integrasi dari kelompok-kelompok yang berpisah adalah totemisme. Sebagaimana yang dikatakan Durkheim totem, adalah “panji klen”. Totem adalah simbol dari orang-orang dalam masyarakat Arunta di mana band-band tidak hidup bersama, namun memandangnya sebagai kerabat. Adalah orang-orang yang khusus yang harus ditolong dan didukung bilamana memerlukan bantuan berupa apapun. Alasannya karena totem adalah simbol kelompok, para anggotanya diingatkan akan eksistensi kelompoknya, tanpa simbol ini mereka akan melupakan hubungan mereka satu dengan lainnya. Pada saat-saat upacara ketika seluruh anggota kelompok berkumpul untuk memuja totem, disini penegasan kembali arti penting kolektif terjadi. seperti yang dikemukakan oleh Durkheim, dengan memuja totem, orang Arunta sebenarnya memuja kelompok.

Dengan demikian, fungsi totem adalah mengintegrasikan sistem sosial orang Arunta, mengintegrasikan bagian-bagian yang terpisah bersama-sama menjadikan satu kesatuan yang salin bergantung. Inilah yang menurut Durkheim instrumen solidaritas sosial, jelaslah totemisme di sini dijelaskan bukan dalam konteks sebagaimana adanya yang menjadi isi dari doktrin dan keyakinan. Melainkan apa kerjanya, fungsi yang dijalankan bagi sistem sosial yang ada di lingkungannya. Durkheim beserta pengikutnya pada abad ke dua puluh  memperluas analisi ini bagi semua agama. Menurutnya, agama harus selalu eksis, karena semua sistem sosial membutuhkan integrasi. Yang menarik bukanlah apa yang berbeda dari karakteristik, keyakinan dan ritual, misalnya totemisme, Buddisme, Hinduisme, Judaisme, Protestantisme dan Katolikisme. Tetapi yang menarik adalah apa yang sama dalam hal kerjanya yakni mengenai fungsi-fungsi integratif yang dijalankan semua keyakinan (agama) bagi sistem sosialnya.

Berdasarkan kasus agama pada suku primitif di Australia, penjelasan tentang fungsionalisme adalah seperti yang diungkapkan oleh Emile Durkheim. Yang terpengaruhi oleh pemikiran awal Aguste Comte yang selanjutnya dikembangan Durkheim, lalu pemikirannya mempengaruhi Radclife Brown dan Malinowski secara mendalam. Gagasan fungsionalisme terpenting Durkheim merupakan penelitian sepanjang hayatnya atas konsep integrasi, yang diartikan sebagai keadaan yang keseimbangan. Karyanya yang berjudul The Rule of Sociological Method dan karya-karyanya mengenai agama dan pendidikan sering dikutip sebagian sumbangan utamanya atas fungsionalisme sekalipun pada karya terbesarnya. The Devision of Labour in Society membahas tentang pembagian kerja, integrasi khas masyarakat industri yang memusatkan pada ketergantungan antarperan.

Perilaku keagamaan para penganut tarekat di perkotaan didasarkan pada perspektif struktural fungsional, yang memusatkan perhatian pada kebutuhan yang harus dipenuhi oleh suatu sistem sosial dalam mempertahankan kehidupannya dan struktur yang sesuai dalam memenuhi kebutuhan tersebut. Dalam menganalisis bagaimana sistem sosial memelihara dan menciptakan keseimbangan, para fungsionalis cenderung menggunakan nilai yang dianut dan diterima secara umum oleh masyarakat sebagai salah satu konsep utamanya.

Fungsionalisme sangat berbeda dengan teori konflik, karena fungsionalisme menekankan pada kesatuan masyarakat dan nilai yang disepakati masyarakat. Sedangkan teori konflik menekankan pembagian dalam masyarakat dan persaingan dalam meraih keuntungan material yang mereka butuhkan.

Konsep diferensiasi Herbert Spencer sebagai salah satu aspek penting dalam saling ketergantungan dan integrasi sistem sosial mempengaruhi teori Durkheim. Akan tetapi terdapat perbedaan yaitu, Durkheim tidak memandang diferensiasi sosial sebagai kebutuhan yang mutlak seperti konsep Spencer serta memandang fakta sosial sebagai wilayah kajian yang sebenarnya dari sosiologi, sedangkan konsep Spencer bersifat psikologis. Maksudnya  yaitu dari fakta sosial, sesuatu yang mencakup keseluruhan masyarakat dan berdiri sendiri terpisah dari manivestasi individu. Contohnya hukum, moral, keyakinan, kebiasaan, dan mode. Ia juga menggunakan istilah institusi dengan arti yang sama tentang bagaimana fakta sosial, yang berarti keyakinan dan aturan perilaku yang dilembagakan oleh masyarakat dan itu termasuk wilayah kajian sosiologi.

Gagasan fungsionalisme terpenting Durkheim atas konsep integrasi, yang diartikan sebagai suatu keadaan keseimbangan. Dalam karya-karyanya mengenai agama dan pendidikan sering dikutip sebagai sumbangan  utama atas fungsionalisme, terutama dalam buku The Division Labour in Society yang membahas fungsi pembagian kerja (solidaritas mekanik & organik).  Dalam karya lain, The Elementary Forms of  The Religious Life, ia mengemukakan bahwa agama pada suku yang primitif merupakan kekuatan  integrasi yang sangat kuat, sejalan dengan pentingnya peranan nilai-nilai dalam sistem sosial. Durkheim mengartikan “konsep kebaikan yang diterima secara umum” atau “keyakinan yang mensahihkan keberadaan  dan pentingnya struktur  sosia tertentu serta jenis perilaku tertentu yang ada dalam struktur sosial tersebut”. Sebagai institusi yang efektif falam mengembangkan nilai-nilai umum, agama menjadi alat integrasi yang baik. Sistem pendidikan umum pada masyarakat modern mempunyai fungsi yang sama dengan agama pada masyarakat tradisional karena mentransmisikan nilai-nilai masyarakat.

 

 

 

 

  1. KASUS

PALMERAH, KOMPAS.com – Jumat (4/11/2016) menjadi hari paling sibuk di Indonesia, khususnya DKI Jakarta. Sebuah aksi besar dari ummat Muslim digelar di Jakarta dan di beberapa kota besar di Indonesia.

Melihat besaran masa yang terlibat, kita bersyukur aksi itu bisa terkendali dan berlangsung dengan damai. Walaupun, setelah pukul 18.00, yang merupakan batas waktu diizinkannya sebuaah aksi berlangsung, suasana makin memanas. Ricuh kecil terjadi. Tiga buah mobil dikabarkan dilalap api. Publik menyadari ada kobaran api itu pertama kali dari salah satu stasiun televisi yang menyiarkan peristiwa itu secara langsung. Pada jam-jam berikutnya, provokasi di dunia nyata dan juga di dunia maya terus dilakukan. Banyak informasi menyesatkan di dunia maya yang semakin memperkeruh suasana. Jelang tengah malah, kerusuhan terjadi di Kampung Luar Batang. Melihat para remaja yang terlibat, tampaknya kerusuhan itu bukan berasal dari peserta aksi demo 4 November. Jelas bahwa ada upaya pihak-pihak tertentu untuk memanfaatkan demo 4 November.

Pada akhirnya, kerusuhan itu bisa dikontrol dan Sabtu pagi ini suasana sudah kondusif. Kita berharap, semuah pihak, termasuk para politisi, bisa mengendapkan suasana ini agar lebih tenang dan tertata. Demo 4 November telah berakhir damai, tak boleh ternoda oleh ulah para pendompleng. Dalam situasi seperti ini, mulut para oportunis pendompleng kepentingan, yang biasanya kencang berbunyi nyaring, diharapkan tak lagi sembrono mengeluarkan pernyataan yang bisa memperkeruh suasana. Termasuk juga, jari-jari para netizen diharapkan tak sembarangan menyebar berita bohong. Semua harus ditimbang terkait dampak dan konsekuensinya. Kita tak butuh “mulut besar” untuk membangun negeri ini, bukan pula “kicauan” di media sosial yang bombastis yang menyulut emosi. Tetapi yang kita butuhkan adalah jiwa besar untuk secara arif bisa menyikapi berbagai perbedaan. Proses hukum terhadap Basuki Tjahaja Purnama telah dijanjikan tetap berlangsung, bahkan sampai ada intervensi agar prosesnya dipercepat dalam dua pekan ke depan. Publik harus memahami prosedur itu dan sama-sama bisa mengendalikan diri.

Liputan6.com, Jakarta – Bareskrim Mabes Polri menjadwalkan pemeriksaan terhadap Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok terkait kasus dugaan penistaan agama. Pemeriksaan Ahok direncanakan akan dilakukan Senin pagi ini, 7 November 2016.

“Apabila tidak ada halangan, besok (Senin) di Mabes Polri akan dilaksanakan pemeriksaan lanjutan kepada saudara Basuki Tjahaja Purnama. Kalau tidak salah jadwalnya sekitar jam 10.00 WIB. Mudah-mudahan tidak ada perubahan,” kata Boy di Nusa Dua, Bali, Minggu 6 November 2016.

Menurut Boy, pemanggilan terhadap Ahok itu adalah bagian dari pengumpulan alat bukti. “Kita sedang berusaha menuntaskan penyelidikan dan pengumpulan alat bukti untuk menentukan status hukum saudara Basuki Tjahaja Purnama,” ujar dia.

Ia menjelaskan, bila semua alat bukti sudah terkumpul, pelaksanaan gelar perkara dalam kasus dugaan penistaan agama tersebut segera digelar.

“Proses ini kita tunggu saja. Sementara pemeriksaan ahli dari MUI menurut informasi satu di antaranya adalah Ketua MUI. Diharapkan juga bersedia untuk diambil keterangan, yakni KH Ma’ruf Amin,” ucap Boy.

Jika tak ada aral melintang, Selasa pekan depan, KH Ma’ruf Amin akan dimintai keterangan. Boy juga memastikan akan meminta keterangan kembali kepada ahli hukum pidana yang belum tuntas.

Ahok Siap

Sementara itu, Ahok mengaku siap menjalani proses hukum, terkait kasus dugaan penistaan agama yang dituduhkan kepada dirinya.

Bahkan, Ahok menyatakan siap dipenjara, apabila benar akibat dia negara menjadi benar-benar kacau.

“Saya sudah sampaikan, kalau karena saya membuat negara kita begitu kacau, saya rela ditangkap, dipenjara. Tapi saya tidak akan pernah mundur (pilkada), karena kalau saya mundur saya juga akan dipenjara,” ujar Ahok di Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu 5 November 2016.

Namun, Ahok tak rela apabila ia dipenjara karena difitnah penyebar video yang sudah diedit tentang dirinya saat berkunjung di Kepulauan Seribu, beberapa waktu lalu. Penyebar video itu adalah Buni Yani. “Ya kalau negara ini betul-betul begitu kacau karena seorang Ahok, saya rela ditangkap, dipenjara, kenapa enggak? Tapi bukan (dipenjara) karena difitnah menghilangkan kata ‘pakai’,” dia menegaskan.

Mantan Bupati Belitung Timur itu kembali menyampaikan permintaan maafnya kepada seluruh kaum muslim.”Saya sudah sampaikan permohonan maaf dari tulus hati yang paling dalam, enggak mau terima juga. Ya saya akan jalani proses hukum. Tapi sekarang jelas ada pengakuan, dia (Buni Yani) bilang dia ngilangin kok,” Ahok menegaskan.

DARI KASUS PENISTAAN AGAMA OLEH GUBERNUR DKI JAKARTA Basuki Tjahaja Purnama DALAM PERSPEKTIF TEORI AGAMA .

Dari kasus di atas dapat di analisis dari kacamata Emile Durkheim (1858-1918), khususnya mengenai pandangan integrasi sosial. Bagi Durkheim, integrasi masyarakat (kohesi sosial) dimungkinkan karena ada nilai bersama yang di pegang masyarakat bersangkutan dalam aktivitas sehari-hari. Nilai tersebut di anggap sebagai sesuatu yang berasal dari realitas transenden yang sangat di junjung tinggi, yang dalam dunia real mewujud di dalam totem (arca, simbol, lambang) yang diyakini mengandung kekuatan magic tertentu. Nilai-nilai yang dihayati oleh masyarakat primitif, dipositifkan dan dijadikan sebagai konsensus bersama oleh masyakat modern yang terintegrasi di dalam sebuah negara modern. Dalam kacamata Durkheim, unjuk rasa yang menuntut Ahok dalam penyelesaian kasus penistaan agama tidak lain merupakan bentuk ketidaksukaan masyarakat muslim karena konsensus yang dijunjung tinggi dinodai oleh pihak-pihak tertentu. Kasus penistaan agama oleh Ahok adalah skandal besar yang menyita perhatian banyak pihak. Ketidaksukaan masyrakat muslim terhadap perilaku Ahok, menimbulkan keributan yang menjelma dalam bentuk unjuk rasa atau Aksi Damai  yang digelar diberbagai pelosok tanah air. Permasalahan ini adalah juga permasalahan sosiologis yang dapat dicarikan akar masalahnya dengan pendekatan sosiologis,  sekalipun belum sepenuhnya memberikan jawaban yang memuaskan. Kasus Penistaan agama dalam Teori Integrasi Sosial Emile Durkheim teori integrasi sosial (kohesi sosial) yang dipaparkan Emile Durkheim masih kontekstual dengan kehidupan berbangsa dan bernegara diIndonesia. Tanpa bermaksud meremehkan negara Indonesia, sebagian besar masyarakat Indonesia masih mempraktekkan pengkultusan simbol-simbol keagamaan yang disebut Durkheim sebagai “totem”. Tentu saja pengkultusan ini sedikit banyak telah dibumbui dengan cita rasa modernitas, misalnya tempat ibadah yang megah dan sikap kritis terhadap nilai-nilai keagamaan. Kendatipun demikian, nilai-nilai agama masih kuat dipertahankan, seolah-olah kesadaran kolektif masyarakat melekat pada agama. Bayangkan saja, setiap pejabat yang akan bertugas, diminta mengucapkan sumpah di hadapan Tuhan. Dengan demikian, mencederai konsensus sama saja dengan mencederai nilai-nilai yang dijunjung tinggi sebagai yang berasal dari realitas transendens sebagai sumber moralitas. Kasus AHOK tidak lain merupakan suatu bentuk kekonyolan. Dalam hal ini, individualisme kian berkembang di dalam diri orang atau sekelompok orang tertentu, sehingga kesadaran kolektifnya tergerus, sampai pada akhirnya menyebabkannya mengambil tindakan yang tidak selaras dengan konsensus bersama (dalam masyarakat modern disebut sebagai konstitusi dan turunannya). Orang atau sekelompok orang ini, dalam perspekstif Durkheim terhadap kehidupan masyarakat tradisional, pantas dihukum karena bertentangan dengan otoritas moral.  Atau jika ditarik kepada masyarakat modern, orang atau sekelompok orang tersebut pantas dihukum karena sudah ada sanksi yang disiapkan untuk hal tersebut. Persoalannya: apakah hukum yang ada dapat menjamin bahwa orang-orang yang melanggar konsensus  tersebut dapat ditangkap, di adili, dan dijatuhi hukuman yang pantas? terkait perdebatan mengenai siapa yang benar dan siapa yang salah menimbulkan keresahan di tengah masyarakat. Muncul pertanyaan: hukum “siapa” yang harus diikuti, ketika semua penegak hukum, wakil rakyat, dan pemerintah yang saling berseteru menganggap dirinya sebagai pihak yang benar? Masyarakat seolah-olah sudah masuk dalam situasi tanpa norma (anomi), sehingga demonstasi atau unjuk rasa yang terjadi di mana-mana dapat dimaklumi. Dapat diambil kesimpulan bahwa, Tema besar kasus Ahok adalah penistaan Agama.  Ada unsur ketidaksetiaan para petinggi negara kepada konsensus bersama yang tidak lain merupakan nilai yang diperoleh dari realitas transendens, yang disebut dengan nama “Tuhan” oleh masyarakat modern. Fenomena ini harus segera diatasi. Siapa pun pihak yang terbukti bersalah dalam proses penyelidikan harus segera diproses, diadili, dan dijatuhi hukuman yang wajar. Jika pihak tersebut masih aktif bekerja di pemerintahan, sebaiknya dinon-aktifkan.

 

 

 

 

 

DAFTAR  PUSTAKA

 

Daftar  pustaka

Johnson, Doyle Paul, 1986. Teori Sosiologi Klasik. Jakarta: PT. Gramedia

Jones,Pip,dkk. 2016. Pengantar Teori-Teori Sosial cetakan kedua.   Jakarta : Obor Indonesia

Kahmad, Dadang. 2000. Sosiologi Agama cetakan pertama. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya

Tuner, S Bryan. 2012. Teori Sosial Dari Klasik Sampai Postmodern (terjemahaan). Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

 

Daftar non pustaka

Wikipedia.com

Liputan6.com

Leave a comment